Sabtu, 05 Maret 2016

contoh esay Membangun Pendidikan Karakter Remaja Indonesia, Melalui Practice System Method sebagai Tolak Ukur Keberhasilan

Membangun Pendidikan Karakter Remaja Indonesia, Melalui Practice System Method sebagai Tolak Ukur Keberhasilan
Oleh Izhar Ependi
Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa. Kualitas pendidikan yang baik akan mampu menghasilkan sumber daya manusia yang unggul dan berkualitas, terlebih pada era globalisasi seperti sekarang ini, yang mana perkembangan teknologi dan informasi sangat pesat. Untuk menghasilkan sumber daya manusia yang unggul dan berkualitas serta memiliki daya saing yang tinggi, maka pendidikan yang diberikan kepada warganya harus dilaksanakan secara tepat dan maksimal. Sejalan dengan pernyataan itu, pemerintah dan semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan sebaiknya lebih peka dan tanggap terhadap perkembangan yang terjadi di masyarakat. Pendidikan hendaknya berorientasi dan dilaksanakan demi pengembangan anak didik dalam rangka memelihara dan meningkatkan martabat manusia dan budayanya (Suparno, dkk, 2002).
Akan tetapi dewasa ini, kualitas pendidikan bukan hanya menjadi fokus utama dalam keberhasilan dunia pendidikan Indonesia, melainkan menurunnya karakter bangsa terutama remaja yang menjadi penerus bangsa. Permasalahan ini dapat terlihat dari berbagai kejadian kenakalan remaja di kota-kota besar. Seperti  kasus tawuran pelajar yang terjadi di Depok pada hari Rabu,  14 Oktober 2015  −  02:50 WIB dilansir Sindonews.com, Kapolresta Depok Kombes Pol Dwiyono mengaku, prihatin atas tawuran yang kerap terjadi di Depok. Tak jarang tawuran pelajar itu menelan korban jiwa atau luka. Berdasar catatan Polresta Depok, sejak Januari-September 2015 ada 105 kasus tawuran. Selain itu ada 28 kasus tindak pidana pelajar dan 67 pelajar bermasalah dengan hukum.
Ditambah, sebanyak 210 pelajar terjerat kasus penganiayaan berat, pencurian dengan kekerasan, melakukan tindak asusila dan penyalahgunaan narkoba. Titik rawan tawuran di Depok juga sudah dipetakan.
Selain yang terjadi di Depok, di Medan pun tidak jauh lebih memprihatinkan, Koran SINDO Kamis,  25 Desember 2014 − 13:38 WIB. Pelajar yang terjerat kasus pengguna narkotika, mulai dari tingkatan sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), hingga mahasiswa. Dari catatan di kepolisian, pada 2014 jumlah pelajar pengguna narkotika tingkat sekolah dasar (SD) ada 111 orang, sekolah menengah pertama (SMP) 335 orang, sekolah menengah atas (SMA) 874 orang, dan mahasiswa 70 orang.
Jumlah keseluruhan pengguna narkotika di kalangan pelajar dan mahasiswa pada 2014 sebanyak1.390 orang. Jumlah itu meningkat dibandingkan kasus pada 2013. Terdata pelajar pengguna narkoba dari sekolah dasar berjumlah 123 orang, sekolah menengah pertama (SMP) 292 orang, sekolah menengah atas (SMA) 863 orang, dan mahasiswa 40 orang. Secara keseluruhan ada 1.318 orang. Dengan melihat berbagai fakta yang terjadi, ini merupakan tamparan untuk pendidikan di indonesia.
Banyaknya permasalahan kenakalan remaja di Indonesia diakibatkan kurang seriusnya pemerintah dan tenaga pendidik (guru) dalam menjalankan dan melakukan control maupun evaluasi dalam pelaksanaan pendidikan karakter yang diterapkan di berbagai sekolah di Indonesia, karena jika dilihat dalam tataran teori, pendidikan karakter sangat menjanjikan untuk menjawab persoalan pendidikan Indonesia. Namun, dalam tataran praktik, seringkali terjadi bias dalam penerapannya.
Tetapi sebagai sebuah upaya, pendidikan karakter haruslah sebuah program yang terukur pencapaiannya. Bicara mengenai pengukuran artinya harus ada alat ukurnya, seperti alat ukur pendidikan matematika jelas, memberiakan soal ujian jika nilainya diatas strandard kelulusan artinya dia bisa. Nah, sekarang bagaimana dengan pendidikan karakter?
Jika diberikan soal mengenai pendidikan karakter maka soal tersebut tidak benar-benar mengukur keadaan sebenarnya. Misalnya, jika anda bertemu orang yang tersesat ditengah jalan dan tidak memiliki uang untuk melanjutkan perjalananya apa yang anda lakukan? Untuk hasil nilai ujian yang baik maka jawabannya adalah menolong orang tersebut, entah memberikan uang ataupun mengantarnya ke tujuannya.
Pertanyaan, apabila hal ini benar-benar terjadi apakah akan terjadi seperti teorinya? Seperti jawaban ujian? Lalu apa alat ukur pendidikan karakter? Observasi atau pengamatan yang disertai dengan indikator perilaku yang dikehendaki. Misalnya, mengamati seorang siswa di kelas selama pelajaran tertentu, tentunya siswa tersebut tidak tahu saat dia sedang di observasi. Tenaga pengajar (guru) dapat menentukan indikator jika siswa memiliki perilaku yang baik saat guru menjelaskan, anggap misalnya mereka mendengarkan dengan seksama, tidak ribut dan adanya catatan yang lengkap. Mudah bukan? Dan ini harus dibandingkan dengan beberapa situasi, bukan hanya didalam kelas saja. Ada banyak cara untuk mengukur hal ini, tergantung dari kreativitas guru dalam menilai.
Membentuk siswa yang berkarakter bukan suatu upaya mudah dan cepat. Hal tersebut memerlukan upaya terus menerus dan refleksi mendalam untuk membuat rentetan morality choice (keputusan moral) yang harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata, sehingga menjadi hal yang praktis dan reflektif. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang. Menurut Helen Keller (manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904) “Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved”.
Selain itu pencanangan pendidikan karakter tentunya dimaksudkan untuk menjadi salah satu jawaban terhadap beragam persoalan bangsa yang saat ini banyak di lihat, di dengar dan dirasakan, yang dimana banyak persoalan muncul yang di indentifikasi bersumber dari gagalnya pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral terhadap peserta didiknya. Hal ini tentunya sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan insan yang cerdas, namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat. Seperti yang dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni “intelligence plus character that is the goal of true education” (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk merealisasikan pendidikan karakter di sekolah. Konsep karakter tidak cukup dijadikan sebagai suatu poin dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran di sekolah, namun harus lebih dari itu, dijalankan dan dipraktekan. Mulailah dengan belajar taat dengan peraturan sekolah, dan tegakkan itu secara disiplin. Sekolah harus menjadikan pendidikan karakter sebagai sebuah tatanan nilai yang berkembang dengan baik di sekolah yang diwujudkan dalam contoh dan seruan nyata yang dipertontonkan oleh tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah dalam keseharian kegiatan di sekolah.
Di sisi lain, pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pemangku kepentingan dalam pendidikan, baik pihak keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah dan juga masyarakat luas. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan adalah membangun kembali kemitraan dan jejaring pendidikan yang kelihatannya mulai terputus diantara ketiga stakeholders terdekat dalam lingkungan sekolah yaitu guru, keluarga dan masyarakat. Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara stakeholder lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.
Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan yang kemudian didukung oleh lingkungan dan kondisi pembelajaran di sekolah yang memperkuat siklus pembentukan tersebut. Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan disini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.
Oleh karena itu, jika ingin mewujudkan pendidikan karakter yang berkualitas, maka kuncinya pada practice system method. Artinya ada alat ukur yang benar sehingga ada evaluasi dan tahu apa yang harus diperbaiki, adanya tiga komponen penting (guru, keluarga dan masyarakat) dalam upaya merelaisasikan pendidikan karakter berlangsung secara nyata bukan hanya wacana saja tanpa aksi. Perlu dipahami, pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur. Dan yang terpenting adalah praktekkan setelah informasi tersebut diberikan dan lakukan dengan disiplin oleh setiap elemen sekolah.
http://www.pendidikankarakter.com/mewujudkan-pendidikan-karakter-yang-berkualitas/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar