Membangun Pendidikan Karakter Remaja Indonesia, Melalui
Practice System Method sebagai Tolak
Ukur Keberhasilan
Oleh Izhar Ependi
Pendidikan merupakan faktor yang sangat
penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa. Kualitas pendidikan yang baik
akan mampu menghasilkan sumber daya manusia yang unggul dan berkualitas,
terlebih pada era globalisasi seperti sekarang ini, yang mana perkembangan
teknologi dan informasi sangat pesat. Untuk menghasilkan sumber daya manusia
yang unggul dan berkualitas serta memiliki daya saing yang tinggi, maka
pendidikan yang diberikan kepada warganya harus dilaksanakan secara tepat dan
maksimal. Sejalan dengan pernyataan itu, pemerintah dan semua pihak yang
terlibat dalam dunia pendidikan sebaiknya lebih peka dan tanggap terhadap
perkembangan yang terjadi di masyarakat. Pendidikan hendaknya berorientasi dan
dilaksanakan demi pengembangan anak didik dalam rangka memelihara dan
meningkatkan martabat manusia dan budayanya (Suparno, dkk, 2002).
Akan tetapi dewasa ini, kualitas pendidikan
bukan hanya menjadi fokus utama dalam keberhasilan dunia pendidikan Indonesia,
melainkan menurunnya karakter bangsa terutama remaja yang menjadi penerus
bangsa. Permasalahan ini dapat terlihat dari berbagai kejadian kenakalan remaja
di kota-kota besar. Seperti kasus tawuran
pelajar yang terjadi di Depok pada hari Rabu, 14 Oktober 2015
− 02:50 WIB dilansir Sindonews.com,
Kapolresta Depok Kombes Pol Dwiyono mengaku, prihatin atas tawuran yang
kerap terjadi di Depok. Tak jarang tawuran pelajar itu menelan korban jiwa atau
luka. Berdasar catatan Polresta Depok, sejak Januari-September 2015 ada 105
kasus tawuran. Selain itu ada 28 kasus tindak pidana pelajar dan 67 pelajar
bermasalah dengan hukum.
Ditambah, sebanyak 210 pelajar terjerat
kasus penganiayaan berat, pencurian dengan kekerasan, melakukan tindak asusila
dan penyalahgunaan narkoba. Titik rawan tawuran di Depok juga sudah dipetakan.
Banyaknya permasalahan kenakalan remaja
di Indonesia diakibatkan kurang seriusnya pemerintah dan tenaga pendidik (guru)
dalam menjalankan dan melakukan control maupun
evaluasi dalam pelaksanaan pendidikan karakter yang diterapkan di berbagai
sekolah di Indonesia, karena jika dilihat dalam tataran teori, pendidikan karakter
sangat menjanjikan untuk menjawab persoalan pendidikan Indonesia. Namun, dalam
tataran praktik, seringkali terjadi bias dalam penerapannya.
Tetapi sebagai sebuah upaya, pendidikan
karakter haruslah sebuah program yang terukur pencapaiannya. Bicara mengenai
pengukuran artinya harus ada alat ukurnya, seperti alat ukur pendidikan
matematika jelas, memberiakan soal ujian jika nilainya diatas strandard
kelulusan artinya dia bisa. Nah, sekarang bagaimana dengan pendidikan karakter?
Jika diberikan soal mengenai pendidikan
karakter maka soal tersebut tidak benar-benar mengukur keadaan sebenarnya.
Misalnya, jika anda bertemu orang yang tersesat ditengah jalan dan tidak
memiliki uang untuk melanjutkan perjalananya apa yang anda lakukan? Untuk hasil
nilai ujian yang baik maka jawabannya adalah menolong orang tersebut, entah
memberikan uang ataupun mengantarnya ke tujuannya.
Pertanyaan, apabila hal ini benar-benar
terjadi apakah akan terjadi seperti teorinya? Seperti jawaban ujian? Lalu apa
alat ukur pendidikan karakter? Observasi atau pengamatan yang disertai dengan
indikator perilaku yang dikehendaki. Misalnya, mengamati seorang siswa di kelas
selama pelajaran tertentu, tentunya siswa tersebut tidak tahu saat dia sedang
di observasi. Tenaga pengajar (guru) dapat menentukan indikator jika siswa
memiliki perilaku yang baik saat guru menjelaskan, anggap misalnya mereka mendengarkan
dengan seksama, tidak ribut dan adanya catatan yang lengkap. Mudah bukan? Dan
ini harus dibandingkan dengan beberapa situasi, bukan hanya didalam kelas saja.
Ada banyak cara untuk mengukur hal ini, tergantung dari kreativitas guru dalam
menilai.
Membentuk siswa yang berkarakter bukan
suatu upaya mudah dan cepat. Hal tersebut memerlukan upaya terus menerus dan
refleksi mendalam untuk membuat rentetan morality choice (keputusan moral) yang harus ditindaklanjuti dengan aksi
nyata, sehingga menjadi hal yang praktis dan reflektif. Diperlukan sejumlah
waktu untuk membuat semua itu menjadi custom
(kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang. Menurut Helen Keller
(manusia buta-tuli pertama yang lulus cum
laude dari Radcliffe College di tahun 1904) “Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience
of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition
inspired, and success achieved”.
Selain itu pencanangan pendidikan
karakter tentunya dimaksudkan untuk menjadi salah satu jawaban terhadap beragam
persoalan bangsa yang saat ini banyak di lihat, di dengar dan dirasakan, yang dimana
banyak persoalan muncul yang di indentifikasi bersumber dari gagalnya
pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral terhadap peserta didiknya. Hal
ini tentunya sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan
insan yang cerdas, namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat. Seperti
yang dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni “intelligence plus character that is the goal of true education”
(kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk
merealisasikan pendidikan karakter di sekolah. Konsep karakter tidak cukup
dijadikan sebagai suatu poin dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran
di sekolah, namun harus lebih dari itu, dijalankan dan dipraktekan. Mulailah
dengan belajar taat dengan peraturan sekolah, dan tegakkan itu secara disiplin.
Sekolah harus menjadikan pendidikan karakter sebagai sebuah tatanan nilai yang
berkembang dengan baik di sekolah yang diwujudkan dalam contoh dan seruan nyata
yang dipertontonkan oleh tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah dalam
keseharian kegiatan di sekolah.
Di sisi lain, pendidikan karakter
merupakan upaya yang harus melibatkan semua pemangku kepentingan dalam
pendidikan, baik pihak keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah dan juga
masyarakat luas. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan adalah
membangun kembali kemitraan dan jejaring pendidikan yang kelihatannya mulai
terputus diantara ketiga stakeholders terdekat dalam lingkungan sekolah yaitu
guru, keluarga dan masyarakat. Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan
berhasil selama antara stakeholder lingkungan pendidikan tidak ada
kesinambungan dan keharmonisan.
Dengan demikian, rumah tangga dan
keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan
utama harus lebih diberdayakan yang kemudian didukung oleh lingkungan dan
kondisi pembelajaran di sekolah yang memperkuat siklus pembentukan tersebut. Di
samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan
masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang.
Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman
nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab
(1996; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya,
mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem
nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan disini, maka upaya dan
ambisinya terbatas pada hal yang sama.
Oleh karena itu, jika ingin mewujudkan
pendidikan karakter yang berkualitas, maka kuncinya pada practice system method. Artinya ada alat ukur yang benar sehingga
ada evaluasi dan tahu apa yang harus diperbaiki, adanya tiga komponen penting
(guru, keluarga dan masyarakat) dalam upaya merelaisasikan pendidikan karakter
berlangsung secara nyata bukan hanya wacana saja tanpa aksi. Perlu dipahami, pendidikan
karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata,
tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi
pekerti yang luhur. Dan yang terpenting adalah praktekkan setelah informasi
tersebut diberikan dan lakukan dengan disiplin oleh setiap elemen sekolah.
http://www.pendidikankarakter.com/mewujudkan-pendidikan-karakter-yang-berkualitas/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar